Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kasus Konsultasi Hukum Dugaan PHK Tidak Sah Terhadap Karyawan WFH

Kasus Konsultasi Hukum Dugaan PHK Tidak Sah Terhadap Karyawan WFH

Kasus Konsultasi Hukum Dugaan PHK Tidak Sah Terhadap Karyawan WFH

 


Pendahuluan

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mata Elang menerima konsultasi hukum dari seorang mantan karyawan dengan inisial G.L. terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dialaminya. Karyawan tersebut mempertanyakan legalitas PHK dan hak-hak yang seharusnya ia terima.   


Kronologi Kejadian

G.L. telah bekerja di sebuah perusahaan sejak tahun 2023 sebagai SEO Associate dan dipromosikan menjadi SEO Specialist pada Februari 2025 karena performa kerjanya yang baik.  Selama dua tahun, G.L. bekerja penuh dari rumah (WFH) tanpa masalah.   

Setelah promosi, perusahaan memberlakukan kebijakan Work From Office (WFO) setiap hari Selasa.  Perubahan ini, ditambah tekanan kerja, menyebabkan G.L. mengalami stres berat.  G.L. tidak masuk kantor selama lima hari Selasa berturut-turut.  Pada satu kesempatan, G.L. izin sakit dan pada kesempatan lain rumahnya kebanjiran.  Meskipun tidak hadir fisik, G.L. tetap bekerja dari rumah.   

Di pertengahan Maret 2025, G.L. dimasukkan ke grup kerja baru, namun merasa diperlakukan tidak adil dan sempat meluapkan emosi melalui chat sebelum keluar dari grup.  Pada 4 Maret 2025, CEO perusahaan mengajak G.L. bertemu untuk membahas situasinya, dan G.L. menjelaskan kondisinya.  G.L. menerima surat reminder untuk hadir ke kantor pada 7 April 2025.  Namun, dua hari kemudian, G.L. menerima surat PHK resmi dengan alasan mangkir, tidak memberi alasan, tidak membalas chat atasan, dan dinilai tidak sesuai budaya perusahaan.   


Analisis Hukum LBH Mata Elang

LBH Mata Elang menganalisis kasus ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021.   

Legalitas PHK : LBH Mata Elang menemukan adanya inkonsistensi antara surat peringatan dan email peringatan dari perusahaan.  Surat peringatan menyatakan PHK efektif per 31 Maret 2025, sementara email peringatan mengharapkan kehadiran G.L. di kantor mulai 7 April 2025.  Surat peringatan tersebut juga dinilai tidak memenuhi prosedur pemanggilan dua kali secara tertulis yang disyaratkan oleh undang-undang.  LBH Mata Elang juga mempertanyakan apakah ketidakhadiran fisik saat WFH dapat dikategorikan sebagai "mangkir".   

Hak Atas Kompensasi PHK : Dengan dugaan prosedur PHK yang tidak sesuai ketentuan, G.L. berpotensi berhak atas kompensasi PHK, termasuk Uang Pesangon (UP), Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK), dan Uang Penggantian Hak (UPH).   

Kondisi Psikologis : Kondisi stres berat yang dialami G.L. dapat menjadi faktor yang meringankan dalam penyelesaian perselisihan.   


Rekomendasi Langkah Hukum

LBH Mata Elang merekomendasikan langkah-langkah hukum berikut :   

Mengirimkan Surat Klarifikasi dan Permohonan Negosiasi : Surat ini untuk menekankan inkonsistensi informasi dari perusahaan, ketidaksesuaian prosedur PHK, perdebatan definisi "mangkir" dalam konteks WFH, keberatan atas denda pelanggaran, dan keinginan untuk bernegosiasi mengenai kompensasi PHK.   

Mediasi di Dinas Ketenagakerjaan : Jika negosiasi gagal, mediasi di Disnaker menjadi langkah selanjutnya.   

Gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) : Jika mediasi tidak berhasil, gugatan ke PHI dapat diajukan untuk pembatalan PHK dan pembayaran kompensasi.   


Dokumen yang Perlu Dipersiapkan

Surat PHK/Surat Peringatan Pertama dan Terakhir   

Email peringatan dari HR perusahaan   

Bukti izin sakit dan kondisi banjir (jika ada)   

Bukti chat dengan HRD dan manajer (jika ada)   

Bukti riwayat pekerjaan dan promosi   

Perjanjian kerja (jika ada)   

Dokumen lain yang relevan   


Kesimpulan 

Kasus ini menyoroti kompleksitas permasalahan PHK, terutama dalam konteks perubahan kebijakan kerja dan dampaknya terhadap kondisi psikologis karyawan. LBH Mata Elang memberikan pendampingan hukum untuk memperjuangkan hak-hak karyawan yang diduga dilanggar.