Ketika Kesehatan Memaksa Anda Berhenti Bekerja: Memahami Hak Uang Pisah dan Kompensasi Bagi Pekerja di Indonesia

Konsultasi Hukum Terkait Hak Uang Pisah Atau Kompensasi Bagi Karyawan Yang Mengundurkan Diri Karena Kesehat... by Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mata Elang

Ketika Kesehatan Memaksa Anda Berhenti Bekerja: Memahami Hak Uang Pisah dan Kompensasi Bagi Pekerja di Indonesia

Ketika Kesehatan Memaksa Anda Berhenti Bekerja: Memahami Hak Uang Pisah dan Kompensasi Bagi Pekerja di Indonesia



Dunia ketenagakerjaan seringkali penuh dinamika. Salah satu situasi yang paling pelik adalah ketika seorang pekerja terpaksa harus mengundurkan diri dari pekerjaannya, bukan karena keinginan semata, melainkan karena kondisi kesehatan yang sudah tidak memungkinkan untuk melanjutkan pekerjaan. Apa hak pekerja dalam situasi seperti ini, terutama jika ia sudah mengabdi bertahun-tahun dan tidak memiliki kontrak kerja tertulis? Banyak tenaga kerja yang kebingungan dan merasa tidak berdaya, padahal hukum kita memberikan perlindungan.

 

Kami kerap menerima konsultasi dari para pekerja yang menghadapi dilema serupa. Salah satunya adalah seorang klien kami, seorang admin gudang yang telah bekerja di sebuah perusahaan swasta sejak tahun 2012. Selama 12 tahun pengabdiannya, ia selalu bekerja dengan perjanjian lisan, tanpa kontrak tertulis yang resmi. Tugasnya mencakup memasukkan data ke komputer dan melakukan stock opname. Sayangnya, pekerjaan yang berulang dan membutuhkan gerakan tangan terus-menerus ini menyebabkan nyeri hebat pada tangan dan jari-jarinya. Diagnosis dokter menyatakan ia menderita Carpal Tunnel Syndrome (CTS) stadium 2, sebuah penyakit yang sangat umum di kalangan pekerja yang banyak mengetik, dan bisa dikategorikan sebagai penyakit akibat kerja (PAK).

 

Kondisi kesehatan ini sangat mengganggu, membuatnya sulit mengetik, menulis, bahkan menyebabkan tangannya tidak bertenaga dan nyeri parah saat dingin. Meskipun sudah berobat dan terapi, dokter menyarankan agar ia tidak melanjutkan pekerjaan yang banyak melibatkan kegiatan mengetik. Akhirnya, ia pun mengajukan pengunduran diri demi kesehatan dan agar tidak membebani perusahaan. Namun, respon perusahaan mengejutkan: pengunduran diri ditolak, dan ia diminta mengambil cuti panjang atau bekerja dari rumah. Klien kami pun bertanya-tanya, apakah ia berhak atas uang pisah atau kompensasi lainnya?

 

Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal sedang berada dalam posisi serupa, artikel ini akan mengupas tuntas hak-hak pekerja yang mengundurkan diri karena alasan kesehatan, terutama jika itu adalah penyakit akibat kerja, dan bagaimana perjanjian kerja lisan tetap memiliki kekuatan hukum.

 

Memahami Hak-Hak Pekerja: Bukan Sekadar Pesangon Biasa Saat Mengundurkan Diri

Ketika membahas pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pengunduran diri, banyak pekerja yang hanya mengenal istilah "pesangon". Namun, dalam konteks pengunduran diri, terutama yang didasari alasan kesehatan, ada beberapa jenis kompensasi yang mungkin menjadi hak pekerja, yaitu uang pesangon, uang penghargaan masa kerja (UPMK), uang penggantian hak (UPH), dan uang pisah.

 

Uang Pesangon (UP) 

Ini adalah kompensasi yang diberikan oleh perusahaan kepada pekerja yang mengalami PHK karena berbagai alasan yang ditetapkan undang-undang. Besaran uang pesangon diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja), yang mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Misalnya, untuk masa kerja 12 tahun, besaran pesangon adalah 9 bulan upah. Namun, perlu diingat, uang pesangon biasanya diberikan untuk kasus PHK oleh perusahaan, bukan pengunduran diri sukarela.

 

Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) 

Diberikan kepada pekerja dengan masa kerja tertentu. Untuk masa kerja 12 tahun, besaran UPMK adalah 5 bulan upah.

 

Uang Penggantian Hak (UPH) 

Ini mencakup cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur, biaya atau ongkos pulang bagi pekerja dan keluarganya ke tempat di mana ia diterima bekerja, dan hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

 

Uang Pisah 

Nah, ini adalah poin krusial untuk kasus pengunduran diri. Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 162 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan memenuhi syarat (mengajukan permohonan pengunduran diri 30 hari sebelumnya, tidak terikat ikatan dinas, dan tetap melaksanakan kewajibannya hingga tanggal pengunduran diri) tidak berhak atas uang pesangon atau UPMK. Namun, ia berhak atas UPH dan uang pisah. Besaran uang pisah ini biasanya diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Jika tidak diatur, perusahaan tidak wajib memberikan uang pisah.

 

Namun, kasus klien kami memiliki dimensi yang berbeda, yaitu pengunduran diri karena sakit akibat kerja.

 

Resign Karena Sakit Akibat Kerja (PAK): Aturan Khusus dan Hak Lebih Baik!

Ini adalah celah hukum yang penting untuk dipahami. Pengunduran diri karena sakit akibat kerja memiliki perlakuan yang berbeda dengan pengunduran diri biasa, dan berpotensi memberikan hak-hak pekerja yang lebih besar.

 

Apa Itu Penyakit Akibat Kerja (PAK)? 

Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan secara langsung oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. CTS yang dialami klien kami, yang disebabkan oleh aktivitas mengetik berulang selama 12 tahun sebagai admin gudang, sangat kuat indikasinya sebagai Penyakit Akibat Kerja. Diagnosis dan rekomendasi dokter adalah bukti kuncinya.

 

Implikasi Hukum PAK 

Jika seorang pekerja menderita PAK dan ini mengakibatkan ia tidak dapat melanjutkan pekerjaannya, maka status pemutusan hubungan kerjanya (baik diinisiasi perusahaan atau pekerja) dapat diperlakukan sebagai PHK karena alasan kesehatan permanen.

 

Berdasarkan Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 162 UU Ketenagakerjaan, jika seorang pekerja mengundurkan diri atas kemauan sendiri, namun alasan pengunduran diri tersebut adalah karena penyakit akibat kerja yang membuat ia tidak dapat melakukan pekerjaan, maka hak-haknya bisa disamakan dengan PHK karena alasan kesehatan permanen.

 

Menurut Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 172 UU Ketenagakerjaan, pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena sakit yang berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui 12 bulan, berhak mendapatkan:

  • 1 x Ketentuan Uang Pesangon (Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja, Pasal 156 ayat (2))
  • 1 x Ketentuan Uang Penghargaan Masa Kerja (Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja, Pasal 156 ayat (3))
  • Uang Penggantian Hak (Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja, Pasal 156 ayat (4))

Ini berarti, jika terbukti bahwa CTS klien kami adalah PAK dan membuat ia tidak bisa bekerja, ia berhak mendapatkan kompensasi penuh seperti PHK, bukan hanya uang pisah biasa.

 

Perjanjian Kerja Lisan: Tetap Punya Kekuatan Hukum!

Banyak tenaga kerja khawatir jika tidak memiliki kontrak tertulis. Kasus klien kami, yang sudah bekerja 12 tahun hanya dengan perjanjian lisan, adalah contoh bahwa hal ini tidak serta merta menghilangkan hak-hak pekerja.

 

Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) 

Dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia, jika suatu hubungan kerja tidak dibuat dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT/kontrak), atau jika PKWT dibuat namun tidak memenuhi syarat, maka hubungan kerja tersebut dianggap sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). PKWTT adalah status karyawan tetap atau permanen.

 

Karyawan dengan status PKWTT memiliki hak pekerja yang lebih kuat dibandingkan PKWT, terutama dalam hal pemutusan hubungan kerja. Mereka berhak atas uang pesangon, UPMK, dan UPH jika di-PHK oleh perusahaan (kecuali dalam kasus pengunduran diri sukarela biasa). Karena klien kami sudah bekerja 12 tahun tanpa kontrak tertulis, statusnya secara hukum adalah karyawan tetap (PKWTT), dan ini sangat menguntungkan posisinya.

 

Jadi, meskipun tidak ada kontrak tertulis, fakta bahwa klien kami telah bekerja selama 12 tahun di perusahaan tersebut secara otomatis menjadikannya pekerja dengan status PKWTT, dan ia tetap berhak atas perlindungan serta kompensasi yang diatur undang-undang.

 

Prosedur Pengunduran Diri yang Benar (dan Jika Perusahaan Menolak)

Pengunduran diri seharusnya mengikuti prosedur yang benar agar hak pekerja tetap terpenuhi.

 

Pemberitahuan Tertulis 

Sampaikan pengajuan pengunduran diri secara tertulis kepada perusahaan, minimal 30 hari sebelum tanggal pengunduran diri yang diinginkan. Ini dikenal sebagai one month notice.

 

Alasan Jelas dan Bukti Medis 

Dalam surat pengunduran diri, sampaikan alasan yang jelas, yaitu kondisi kesehatan yang menghambat pekerjaan, dan lampirkan surat keterangan/diagnosis dari dokter yang relevan. Ini menjadi bukti krusial bahwa pengunduran diri bukan sekadar keinginan pribadi, melainkan karena kondisi medis yang serius.

 

Tetap Laksanakan Kewajiban 

Selama masa one month notice, pekerja wajib tetap melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya, kecuali jika kondisi kesehatannya sudah sangat parah dan terbukti dari surat dokter.

 

Bagaimana jika perusahaan menolak pengunduran diri?

Perusahaan tidak bisa secara sepihak menolak pengunduran diri pekerja yang telah memenuhi syarat. Penolakan perusahaan terhadap pengunduran diri klien kami yang disertai alasan kesehatan dan bukti medis ini perlu diperhatikan. Perusahaan tidak dapat memaksa pekerja untuk mengambil cuti panjang atau bekerja dari rumah jika kondisi kesehatan pekerja tidak memungkinkan.

 

Penolakan perusahaan ini justru bisa menjadi indikasi adanya perselisihan hubungan industrial yang dapat diselesaikan melalui mekanisme hukum.

 

Langkah Hukum Jika Hak Pekerja Tidak Terpenuhi

Jika perusahaan tetap menolak pengunduran diri dengan alasan kesehatan atau tidak memberikan hak pekerja yang sesuai, ada beberapa langkah hukum yang bisa ditempuh:

 

Negosiasi Internal 

Coba lakukan komunikasi dan negosiasi ulang dengan HRD atau manajemen perusahaan, didampingi oleh serikat pekerja (jika ada) atau penasihat hukum. Jelaskan kembali duduk perkaranya, sampaikan bukti medis, dan tunjukkan dasar hukum hak pekerja Anda.

 

Pencatatan Perselisihan Hubungan Industrial di Disnaker 

Jika negosiasi buntu, catatkan perselisihan Anda ke Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) setempat. Anda bisa melaporkan adanya perselisihan hak (karena hak atas kompensasi tidak diberikan) atau perselisihan PHK (jika perusahaan menolak pengunduran diri dengan alasan kesehatan sehingga statusnya menjadi terkatung-katung atau terjadi PHK tidak sah).

 

Mediasi Disnaker 

Setelah dicatat, Disnaker akan memanggil kedua belah pihak (Anda dan perusahaan) untuk proses mediasi. Mediator dari Disnaker akan berusaha mencari titik temu dan kesepakatan damai. Jika mediasi berhasil, akan dibuatkan Akta Perdamaian.

 

Gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) 

Apabila mediasi gagal mencapai kesepakatan, mediator akan mengeluarkan Anjuran Mediasi. Jika salah satu pihak tidak puas dengan Anjuran Mediasi, mereka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang berada di bawah lingkungan peradilan umum. Di PHI, hakim akan memutus perselisihan ini berdasarkan bukti-bukti dan argumen hukum dari kedua belah pihak.

 

Pentingnya Bukti dan Pendampingan Hukum

Sepanjang proses ini, semua bukti (surat pengunduran diri, surat dokter, screenshot komunikasi, surat penolakan perusahaan, dan riwayat pekerjaan) akan menjadi sangat penting. Mengurus masalah hukum ketenagakerjaan bisa sangat kompleks. Oleh karena itu, mendapatkan pendampingan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau pengacara yang memahami hukum ketenagakerjaan sangat disarankan. Mereka akan membantu Anda menyusun argumen hukum, menyiapkan bukti, dan mendampingi Anda di setiap tahapan proses, mulai dari negosiasi hingga persidangan di PHI.

 

Kesimpulan: Kenali Hak Anda, Jangan Ragu Berjuang!

Situasi di mana tenaga kerja harus mengundurkan diri karena sakit akibat kerja adalah masalah serius yang memerlukan perhatian khusus dalam ranah ketenagakerjaan. Meskipun tidak ada kontrak tertulis, status sebagai pekerja PKWTT yang telah mengabdi belasan tahun, ditambah kondisi kesehatan yang disebabkan oleh pekerjaan (PAK), sangat membuka peluang bagi pekerja untuk mendapatkan hak-hak yang lebih besar daripada sekadar uang pisah biasa, bahkan berpotensi mendapatkan kompensasi seperti PHK.

 

Jangan biarkan ketidaktahuan membuat Anda kehilangan hak pekerja Anda. Anda telah mengabdikan waktu dan tenaga Anda untuk perusahaan, dan Anda berhak mendapatkan kompensasi yang layak atas pengabdian dan pengorbanan kesehatan Anda. Pahami hak-hak Anda, kumpulkan bukti, dan jangan ragu untuk memperjuangkannya melalui jalur hukum yang tersedia.

 

Apakah Anda Seorang Pekerja yang Merasa Hak Anda Terabaikan?

Jika Anda atau kenalan Anda menghadapi masalah di bidang ketenagakerjaan, seperti tidak mendapatkan hak pekerja yang seharusnya, PHK tidak adil, atau perselisihan lainnya, jangan ragu untuk mencari bantuan. LBH Mata Elang atau Kantor Hukum Mata Elang Law Firm & Partners siap memberikan konsultasi hukum dan pendampingan yang Anda butuhkan.

 

Keadilan adalah hak setiap tenaga kerja. Jangan biarkan hak Anda terampas!