Permasalahan Penerbitan Sertipikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Setelah Pelunasan Kredit: Panduan Lengkap untuk Konsumen

Jawaban Konsultasi Hukum Atas Permasalahan Penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Setelah Pelunasan... by Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mata Elang

Permasalahan Penerbitan Sertipikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Setelah Pelunasan Kredit: Panduan Lengkap untuk Konsumen

Permasalahan Penerbitan Sertipikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Setelah Pelunasan Kredit: Panduan Lengkap untuk Konsumen


Pendahuluan

Memiliki rumah impian adalah dambaan banyak orang. Proses pembelian rumah, terutama melalui fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR), seringkali dianggap selesai setelah seluruh cicilan dilunasi. Namun, tidak jarang muncul permasalahan baru setelah pelunasan, salah satunya adalah belum diterbitkannya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) oleh pengembang. Situasi ini tentu menimbulkan kekhawatiran dan kebingungan bagi konsumen. Artikel ini akan membahas secara tuntas mengenai permasalahan penerbitan SHGB setelah pelunasan kredit, menguraikan tanggung jawab pihak-pihak terkait, dasar hukum yang melandasi, serta langkah-langkah konkret yang dapat diambil oleh konsumen untuk mendapatkan haknya.

 

Kronologi Umum Permasalahan SHGB yang Tertunda

Bayangkan skenario ini: Anda telah melunasi kredit rumah yang Anda beli dari sebuah developer melalui KPR bank. Bertahun-tahun berlalu, namun SHGB rumah Anda tak kunjung diterima. Pihak developer sulit dihubungi, dan perwakilan yang menangani masalah Anda bahkan mungkin sudah meninggal dunia. Upaya follow-up ke bank pun terasa lambat dan tidak responsif. Dokumen penting seperti Akta Jual Beli (AJB) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) mungkin sudah ada dan diserahkan kepada Anda, namun yang utama, yaitu SHGB, masih "belum terbit" atau "belum dipecah dari sertifikat induk dan dibalik nama". Situasi ini adalah bentuk wanprestasi atau ingkar janji yang dilakukan oleh developer.

 

Tanggung Jawab Para Pihak dalam Penerbitan SHGB

Dalam kasus tertundanya penerbitan SHGB, ada beberapa pihak yang memiliki tanggung jawab hukum:

PT FT (Developer)

Developer memiliki kewajiban utama dan pertama untuk menyerahkan sertifikat hak atas tanah (SHGB/SHM) kepada pembeli setelah seluruh kewajiban jual beli terpenuhi, termasuk pelunasan kredit. Adanya Akta Jual Beli (AJB) menunjukkan bahwa proses peralihan hak secara formal telah dilakukan oleh notaris/PPAT. Keterlambatan penyerahan sertifikat hingga bertahun-tahun setelah pelunasan kredit merupakan bentuk wanprestasi atau ingkar janji yang dilakukan oleh developer terhadap Anda. Hal ini jelas melanggar Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UUPR), yang menegaskan kewajiban pengembang untuk menyerahkan sertifikat hak atas tanah dan bangunan kepada pembeli setelah serah terima bangunan dan pelunasan harga. 

Bank

Sebagai pemberi kredit dan pemegang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), bank memiliki kepentingan dan tanggung jawab untuk memastikan agunan (properti yang dijaminkan) memiliki sertifikat yang sah dan dapat dibebani Hak Tanggungan. Catatan "Sertifikat belum" pada Berita Acara Penerimaan Dokumen menunjukkan bahwa bank mengetahui sertifikat belum terbit saat pelunasan. Bank seharusnya lebih proaktif dalam menagih dan memfasilitasi percepatan penerbitan sertifikat dari developer, terutama setelah kredit lunas. Kelambanan bank dalam menindaklanjuti developer dapat diindikasikan sebagai bentuk kelalaian dalam melindungi kepentingan nasabah.

Notaris/PPAT

Notaris/PPAT yang membuat Akta Jual Beli (AJB) dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa seluruh persyaratan hukum terpenuhi, termasuk kesiapan sertifikat untuk dibalik nama dan dibebani Hak Tanggungan. Jika sertifikat belum terbit atau belum siap pada saat AJB dibuat, Notaris/PPAT seharusnya memberikan penjelasan komprehensif mengenai risiko dan langkah selanjutnya kepada pembeli. PPAT juga bertanggung jawab untuk mendaftarkan peralihan hak ke BPN setelah AJB, yang akan berujung pada penerbitan sertifikat atas nama pembeli. Keterlambatan yang signifikan dalam penerbitan sertifikat setelah AJB dapat mengindikasikan adanya kelalaian dalam proses pendaftaran oleh pihak Notaris/PPAT.

 

Dasar Hukum yang Relevan

Permasalahan ini melibatkan beberapa dasar hukum penting:

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UUPR): Pasal 42 ayat (1) UUPR secara jelas menegaskan kewajiban pengembang untuk menyerahkan sertifikat hak atas tanah dan bangunan kepada pembeli setelah serah terima bangunan dan pelunasan harga.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah: Mengatur tentang pendaftaran tanah dan peralihan hak, yang menjadi dasar penerbitan sertifikat.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata): Pasal 1243 KUHPerdata tentang wanprestasi (ingkar janji) dapat menjadi dasar tuntutan ganti rugi terhadap pihak yang tidak memenuhi kewajibannya (developer).

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan POJK Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan: Menjadi dasar bagi konsumen untuk mengajukan pengaduan terhadap lembaga jasa keuangan (bank) yang tidak memenuhi kewajibannya atau melakukan kelalaian.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN): Mengatur tentang tugas, wewenang, dan tanggung jawab notaris/PPAT.

 

Langkah-Langkah Hukum yang Dapat Diambil

Mengingat kompleksitas permasalahan ini, berikut adalah rekomendasi langkah-langkah hukum yang dapat Anda tempuh:


Komunikasi Resmi dan Tegas (Somasi)

Terhadap PT FT (Developer): Kirimkan surat somasi resmi secara tertulis (dengan tembusan Notaris/PPAT yang membuat AJB) yang menuntut agar sertifikat segera diterbitkan dan diserahkan dalam jangka waktu tertentu (misalnya, 7 atau 14 hari kerja). Somasi ini harus dilengkapi dengan semua bukti pelunasan dan AJB.

Terhadap Bank: Ajukan surat permohonan resmi kepada Bank untuk secara proaktif menindaklanjuti developer dan memfasilitasi percepatan penerbitan sertifikat, mengingat bank juga berkepentingan atas status agunan dan memiliki tanggung jawab perlindungan konsumen.

Terhadap Notaris/PPAT: Ajukan surat permintaan klarifikasi resmi kepada Notaris/PPAT yang membuat AJB dan SKMHT mengenai kendala penerbitan sertifikat dan langkah-langkah yang akan mereka tempuh.

 

Pengaduan kepada Lembaga Terkait

Otoritas Jasa Keuangan (OJK): Jika Bank tidak responsif atau tidak memberikan solusi yang memuaskan, Anda dapat mengajukan pengaduan resmi ke OJK sebagai lembaga pengawas jasa keuangan dan pelindung konsumen.

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) atau Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI): Anda dapat mengajukan aduan ke lembaga-lembaga ini untuk mendapatkan bantuan dalam penyelesaian sengketa konsumen.

Badan Pertanahan Nasional (BPN): Lakukan pengecekan status sertifikat di kantor BPN setempat (sesuai lokasi tanah) untuk mengetahui apakah ada proses pendaftaran yang tertunda atau kendala lainnya.

 

Gugatan Perdata (Opsi Terakhir)

Apabila langkah-langkah di atas tidak membuahkan hasil, opsi terakhir adalah mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri setempat. Gugatan ini dapat ditujukan kepada developer atas dasar wanprestasi, dan dapat pula melibatkan Bank serta Notaris/PPAT jika terbukti ada kelalaian yang merugikan.

 

Pentingnya Bantuan Hukum Profesional

Mengingat kompleksitas permasalahan yang melibatkan beberapa pihak, dokumen hukum yang rumit, serta potensi proses hukum yang panjang, sangat disarankan untuk tidak bergerak sendiri. Bantuan hukum profesional akan sangat penting untuk:

  • Menganalisis dokumen secara lebih mendalam dan mengidentifikasi celah hukum.
  • Menyusun surat-surat resmi (somasi, pengaduan) dengan kaidah hukum yang tepat.
  • Mewakili kepentingan Anda dalam komunikasi dengan pihak-pihak terkait, termasuk menyusun dan mengirimkan surat-surat yang diperlukan. 
  • Mengambil langkah hukum yang strategis dan efektif untuk mendapatkan kembali hak Anda.

 

Penutup

Permasalahan penerbitan SHGB yang tertunda setelah pelunasan kredit adalah isu serius yang membutuhkan penanganan yang tepat. Dengan memahami tanggung jawab masing-masing pihak dan langkah-langkah hukum yang tersedia, Anda dapat lebih proaktif dalam memperjuangkan hak Anda sebagai konsumen. Jangan biarkan hak Anda terabaikan.

 

Hubungi Kami untuk Konsultasi Gratis

Jika Anda menghadapi permasalahan serupa dan membutuhkan panduan lebih lanjut, jangan ragu untuk menghubungi LBH MATA ELANG. Kami berkomitmen untuk memberikan akses keadilan bagi masyarakat dan siap membantu Anda menentukan langkah terbaik. Kunjungi www.mataelang.org atau hubungi kami sekarang untuk penanganan lebih lanjut.