Konsultasi Hukum Terkait Perekaman Pejabat Publik Dan Dugaan Pungutan Liar (Pungli) by Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mata Elang

Bolehkah Merekam Pejabat Publik Tanpa Izin untuk Bukti Pungli? Ini Dasar Hukumnya
Fenomena pungutan liar (pungli) masih menjadi momok yang
meresahkan masyarakat di berbagai lapisan. Praktik tidak terpuji ini, yang
melibatkan pejabat publik atau petugas layanan masyarakat, tidak hanya
merugikan secara finansial tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap institusi
negara. Seringkali, korban pungli merasa dilema: ingin melaporkan, namun ragu
mengenai legalitas pengumpulan bukti, terutama jika itu melibatkan perekaman
tanpa izin. "Apakah merekam pejabat publik tanpa persetujuan itu melanggar
hukum?" "Bisakah rekaman itu dijadikan bukti?" "Kapan
pungli itu bisa dilaporkan?" Pertanyaan-pertanyaan ini kerap menghantui,
menghambat niat baik untuk memberantas praktik korupsi kecil ini.
Kekhawatiran akan jerat hukum, terutama Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), seringkali membuat masyarakat
urung merekam tindakan mencurigakan. Padahal, peran aktif masyarakat dalam
mengumpulkan bukti adalah kunci dalam memberantas pungli.
Artikel ini akan mengupas tuntas mengenai legalitas
perekaman pejabat publik dalam konteks dugaan pungutan liar, menjelaskan
bagaimana rekaman tersebut dapat menjadi alat bukti yang sah di mata hukum,
serta panduan langkah demi langkah tentang cara melaporkan dugaan pungli kepada
pihak berwenang. LBH Mata Elang hadir untuk memberikan pencerahan hukum dan
mendampingi Anda dalam memperjuangkan keadilan.
Latar Belakang Permasalahan: Kegelisahan dalam Melawan Pungutan Liar
LBH Mata Elang menerima konsultasi dari seorang warga yang
ingin tahu lebih jauh tentang haknya untuk merekam pejabat publik yang diduga
melakukan pungli. Klien bertanya: "Misalkan, jika saya mau merekam lurah
tanpa minta izin, apakah bisa dituntut? Bagaimana untuk mengetahui misal lurah
minta duit pungli apakah boleh merekam? Apakah lurah bisa dituntut? Atau belum
boleh dituntut karena belum kejadian? Apakah pada saat lurah menerima uangnya
baru lurah dapat dituntut? Ke mana melapornya?"
Pertanyaan-pertanyaan ini merefleksikan kegelisahan umum
masyarakat. Di satu sisi, ada dorongan untuk bertindak melawan ketidakadilan,
namun di sisi lain, ada kekhawatiran akan risiko hukum yang mungkin timbul dari
tindakan perekaman. Mari kita bedah satu per satu.
Hak dan Legalitas Perekaman Pejabat Publik
Merekam percakapan atau tindakan orang lain tanpa izin
memang bisa menjadi isu sensitif dan berpotensi melanggar privasi, yang diatur
dalam beberapa ketentuan, termasuk UU ITE. Namun, ada pengecualian penting,
terutama ketika perekaman tersebut dilakukan untuk kepentingan penegakan hukum
atau sebagai upaya pembuktian tindak pidana.
1. Perekaman untuk Kepentingan Penegakan Hukum
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
memang mengatur tentang larangan intersepsi atau penyadapan informasi
elektronik. Pasal 31 UU ITE dan Pasal 48 UU ITE bisa menjadi dasar tuntutan
jika rekaman dilakukan secara ilegal.
Namun, ada pengecualian vital. Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 5/PUU-VIII/2010 telah memberikan penegasan bahwa hasil perekaman atau
intersepsi komunikasi yang dilakukan oleh orang pribadi tanpa izin, tidak dapat
dijadikan alat bukti yang sah di pengadilan, kecuali rekaman tersebut bertujuan
untuk membuktikan terjadinya suatu tindak pidana.
Artinya, jika Anda merekam pejabat publik karena adanya
dugaan kuat mereka sedang melakukan tindak pidana, seperti pungutan liar, maka
rekaman tersebut dapat dianggap sah sebagai alat bukti. Kuncinya adalah niat
dan tujuan perekaman: bukan untuk mencemarkan nama baik, memeras, atau tujuan
jahat lainnya, melainkan semata-mata untuk membuktikan adanya pelanggaran
hukum.
2. Perekaman Pejabat Publik dalam Konteks Tugas
Pejabat publik, dalam menjalankan tugasnya yang terkait
dengan pelayanan masyarakat atau kewenangan publik, memiliki ekspektasi privasi
yang lebih rendah dibandingkan individu dalam konteks pribadi mereka. Tindakan
mereka saat menjalankan tugas publik pada prinsipnya terbuka untuk pengawasan
publik. Oleh karena itu, merekam tindakan pejabat publik yang sedang
menjalankan tugasnya, terutama jika ada indikasi penyalahgunaan wewenang atau
tindak pidana, adalah bagian dari upaya pengawasan warga negara dan dapat
dibenarkan.
Memahami Tindak Pidana Pungutan Liar (Pungli)
Pungutan liar, atau disingkat pungli, adalah tindakan
pemungutan uang atau imbalan lainnya oleh petugas atau pejabat yang tidak resmi
atau melebihi tarif yang ditetapkan secara resmi, dengan tujuan untuk
keuntungan pribadi atau kelompok. Pungli seringkali terjadi dalam konteks
pelayanan publik dan merupakan bentuk korupsi skala kecil yang sangat
meresahkan.
Dasar Hukum Pungli
Pungutan liar di Indonesia dikategorikan sebagai tindak
pidana korupsi. Dasar hukum yang melandasi penindakannya antara lain:
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal-pasal yang seringkali terkait dengan pungli adalah:
- Pasal 2 dan 3: Terkait perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
- Pasal 12 huruf e: Terkait pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
- Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli). Perpres ini membentuk satuan tugas khusus untuk memberantas pungli, menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menindak praktik ini.
Kapan Pungli Dianggap Terjadi?
Banyak masyarakat bertanya, "Apakah harus menunggu
lurah menerima uangnya baru bisa dituntut?" Jawabannya adalah tidak.
Tindak pidana pungli tidak selalu mensyaratkan uang atau imbalan telah
berpindah tangan. Perbuatan "meminta" atau "menawarkan"
sesuatu yang bukan haknya oleh pejabat, dengan menyalahgunakan wewenang, sudah
dapat menjadi dasar dugaan tindak pidana.
Unsur-unsur penting dalam pungli adalah adanya
penyalahgunaan wewenang untuk meminta atau menerima sesuatu yang bukan haknya.
Jadi, jika sudah ada percakapan atau tindakan yang secara jelas mengindikasikan
permintaan pungli oleh pejabat publik, Anda sudah dapat mulai mengumpulkan
bukti dan mempertimbangkan langkah hukum.
Rekaman sebagai Alat Bukti Sah dalam Kasus Pungli
Dalam sistem hukum Indonesia, rekaman suara atau video, jika
diperoleh dengan tujuan pembuktian tindak pidana, dapat menjadi alat bukti yang
sah.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), "Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik adalah alat bukti hukum yang sah."
Rekaman audio atau video adalah bentuk dari Informasi Elektronik atau Dokumen
Elektronik.
Pentingnya Kualitas Rekaman: Agar rekaman Anda memiliki nilai pembuktian yang kuat, pastikan:
Kejelasan Suara dan/atau Gambar: Rekaman harus cukup jelas untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat dan percakapan atau tindakan yang terjadi.
Relevansi Percakapan: Rekaman harus secara langsung berkaitan dengan dugaan pungli, misalnya terdengar jelas permintaan uang, tawaran fasilitas ilegal, atau kesepakatan tidak resmi.
Kontinuitas: Sedapat mungkin, rekaman menunjukkan
kontinuitas peristiwa untuk menghindari tuduhan pemotongan atau manipulasi.
Langkah-langkah Melaporkan Dugaan Pungutan Liar
Jika Anda memiliki dugaan kuat mengenai pungutan liar yang
dilakukan oleh pejabat publik dan telah mengumpulkan bukti, ada beberapa
langkah yang bisa Anda ambil:
1. Persiapan Bukti yang Kuat
Fokus pada Rekaman: Jika Anda belum memiliki rekaman,
rencanakan dengan cermat bagaimana Anda akan merekam saat pejabat tersebut
meminta atau menerima uang pungli. Pastikan perangkat perekam berfungsi optimal
(audio dan/atau video) dan rekaman mencakup percakapan atau tindakan yang
relevan.
Kumpulkan Bukti Lainnya:
- Saksi: Jika ada orang lain yang mengetahui atau menyaksikan langsung permintaan/penerimaan uang pungli, catat identitas mereka dan minta kesediaan mereka untuk bersaksi.
- Dokumen: Kumpulkan dokumen tertulis yang terkait dengan pungli (misalnya surat permintaan uang tidak resmi, kuitansi palsu, bukti transfer, atau catatan percakapan teks).
2. Kapan Melaporkan?
Anda dapat melaporkan dugaan pungli segera setelah Anda
memiliki bukti yang cukup kuat, terutama rekaman saat permintaan atau
penerimaan uang. Tidak perlu menunggu hingga uang benar-benar diserahkan atau
terjadi kerugian materiil yang besar. Adanya niat dan upaya untuk meminta atau
menerima sesuatu yang tidak sah oleh pejabat yang menyalahgunakan wewenang
sudah cukup untuk dilaporkan.
3. Ke Mana Melapor?
Ada beberapa instansi yang berwenang menerima laporan dugaan pungutan liar:
- Kepolisian Republik Indonesia (Polri): Anda dapat melaporkannya ke unit Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di tingkat Polres atau Polda terdekat.
- Kejaksaan Republik Indonesia: Anda bisa melaporkan ke Bidang Tindak Pidana Khusus (Pidsus) di Kejaksaan Negeri atau Kejaksaan Tinggi setempat.
- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): Jika kasus pungli tersebut memiliki nilai kerugian negara yang besar, melibatkan pejabat tinggi, atau terindikasi sebagai bagian dari jaringan korupsi yang lebih luas, Anda dapat melaporkannya ke KPK.
- Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli): Ini adalah unit khusus yang dibentuk pemerintah untuk memberantas pungli. Anda bisa melapor melalui situs web resmi Saber Pungli atau kontak yang disediakan.
- Inspektorat Jenderal Kementerian/Lembaga terkait: Jika pungli dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan kementerian/lembaga tertentu, Anda juga bisa melaporkannya ke Inspektorat Jenderal di instansi tersebut.
4. Prosedur Pelaporan
Saat melaporkan, sampaikan laporan secara tertulis dan
sertakan semua bukti yang Anda miliki. Berikan informasi yang jelas dan
kronologis mengenai dugaan pungli tersebut.
Melindungi Diri Saat Melaporkan
Melaporkan dugaan pungli, terutama yang melibatkan pejabat, bisa jadi menantang. Untuk melindungi diri, Anda bisa mempertimbangkan:
- Anonimitas: Beberapa instansi penerima laporan menyediakan mekanisme untuk pelapor anonim, namun keabsahan bukti dan tindak lanjut mungkin memerlukan identitas pelapor di kemudian hari.
- Perlindungan Saksi dan Pelapor (LPSK): Jika Anda merasa terancam setelah melaporkan, Anda bisa mengajukan permohonan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
- Pendampingan Hukum: Berproses dengan pendampingan LBH Mata Elang sangat disarankan. Penasehat hukum dapat membantu memastikan laporan Anda disusun dengan benar, bukti-bukti disajikan secara sah, dan hak-hak Anda sebagai pelapor terlindungi.
Kesimpulan
Anda memiliki hak dan dasar hukum untuk merekam pejabat
publik yang diduga melakukan pungutan liar dalam menjalankan tugasnya. Rekaman
tersebut, selama dilakukan dengan tujuan membuktikan tindak pidana, dapat
menjadi alat bukti yang sah di mata hukum. Tindak pidana pungli adalah
kejahatan serius yang merugikan masyarakat dan merusak sendi-sendi birokrasi.
Jangan biarkan kekhawatiran menghalangi Anda untuk
berpartisipasi aktif dalam memberantas pungli. Dengan persiapan bukti yang
matang dan langkah yang tepat, Anda dapat memperjuangkan keadilan dan
berkontribusi pada terciptanya tata kelola pemerintahan yang bersih.
Jangan Biarkan Pungli Merajalela!
Jika Anda adalah korban atau memiliki bukti dugaan pungutan
liar dan membutuhkan panduan lebih lanjut atau pendampingan hukum, jangan ragu
untuk bertindak.
Hubungi LBH Mata Elang sekarang untuk konsultasi gratis dan bantuan profesional. Kami siap mendampingi Anda dalam melawan praktik pungli dan memperjuangkan keadilan.