Konsultasi Hukum Dan Rekomendasi Langkah Strategis Terkait Penahanan Jaminan Aset Oleh Bank by Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mata Elang

Memahami Hak Atas Jaminan: Ketika Bank Menahan Sertipikat yang Telah Lunas
Dalam dunia perbankan dan kredit, jaminan atau agunan adalah
hal yang lumrah. Namun, bagaimana jika sebuah bank menahan sertipikat jaminan
Anda, padahal kredit yang dijaminnya sudah lunas? Situasi ini, meskipun
terdengar tidak masuk akal, bisa saja terjadi dan penting bagi masyarakat untuk
memahami hak-hak hukumnya.
Mari kita telaah sebuah skenario yang seringkali membingungkan
banyak pihak!
Studi Kasus: Dua Kredit, Satu Masalah
Sebuah perusahaan pengembang perumahan, sebut saja PT. N.S.,
memiliki dua fasilitas kredit di bank yang sama. Kredit pertama (Kredit A)
dijamin dengan Sertipikat Properti P (misalnya, sertipikat tanah di sebuah
perumahan). Kredit kedua (Kredit B) dijamin dengan Sertipikat Properti T
(misalnya, sertipikat tanah di lokasi perumahan lain).
Kabar baiknya, Kredit A telah lunas sepenuhnya. Seharusnya,
Sertipikat Properti P yang menjadi jaminan Kredit A segera dikembalikan kepada
PT. N.S. Namun, bank justru menahan Sertipikat Properti P, dengan alasan Kredit
B sedang dalam kondisi macet dan Sertipikat Properti P dianggap sebagai jaminan
tambahan untuk menutupi Kredit B. Pihak bank bahkan berargumen bahwa ada surat
permohonan dari PT. N.S. yang mereka tafsirkan sebagai persetujuan penahanan
jaminan.
Apakah tindakan bank ini dibenarkan secara hukum? Mari kita
bedah lebih lanjut.
Tiga Pilar Hukum yang Dilanggar Bank
Dalam kasus seperti ini, tindakan bank yang menahan
sertipikat jaminan yang sudah lunas adalah tindakan yang tidak memiliki dasar
hukum yang kuat dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum perdata dan
perbankan di Indonesia:
Prinsip Keterpisahan Perjanjian (Pacta Sunt Servanda)
Setiap perjanjian kredit adalah sebuah kesepakatan yang
berdiri sendiri. Kredit A dan Kredit B, meskipun dengan bank yang sama, adalah
dua perjanjian yang terpisah dengan syarat dan jaminan yang berbeda. Ketika
Kredit A lunas, maka semua kewajiban atas perjanjian tersebut telah selesai.
Bank wajib mengembalikan jaminan yang telah bebas, yaitu Sertipikat Properti P.
Sebuah perjanjian yang sudah selesai tidak bisa dihubungkan secara sepihak
dengan perjanjian lain yang masih berjalan atau bermasalah.
Prinsip Spesialitas Jaminan
Hukum jaminan di Indonesia, khususnya terkait Hak Tanggungan (seperti sertipikat tanah), menganut prinsip spesialitas. Ini berarti, sebuah jaminan hanya mengikat utang tertentu yang secara jelas disebutkan dalam akta perjanjiannya.
Sertipikat Properti P hanya menjamin Kredit A.
Sertipikat Properti T hanya menjamin Kredit B.
Bank tidak bisa secara sepihak "menggeser" atau
"menggabungkan" jaminan dari satu kredit ke kredit lain tanpa adanya
kesepakatan baru yang sah dan tertulis antara kedua belah pihak.
Ketiadaan Perjanjian Tambahan yang Sah
Jika bank ingin menjadikan Sertipikat Properti P sebagai
jaminan tambahan untuk Kredit B, harus ada perjanjian tambahan (addendum) yang
dibuat secara sah dan disepakati oleh kedua belah pihak, serta diikat secara
notariil. Tanpa adanya perjanjian baru ini, tindakan bank yang menahan
sertipikat tersebut adalah tindakan ilegal dan bisa dikategorikan sebagai
perbuatan melawan hukum.
Surat Permohonan Bukanlah Perjanjian Jaminan Tambahan!
Bank mungkin berargumen bahwa surat permohonan dari nasabah (seperti surat permohonan pembebasan denda dan bunga yang diajukan PT. N.S.) bisa menjadi dasar penahanan jaminan. Namun, ini adalah penafsiran yang keliru secara hukum.
Sebuah surat permohonan adalah inisiatif nasabah untuk
mencari solusi atau keringanan, bukan perjanjian pengikatan jaminan baru.
Isi surat yang menunjukkan kesediaan untuk "pemotongan" atau "pengalihan dana" adalah upaya penyelesaian, bukan persetujuan untuk menahan jaminan yang sudah lunas.
Status hukum sebuah jaminan yang telah lunas tidak dapat diubah hanya dengan sebuah surat permohonan, apalagi mengikatnya pada kredit lain tanpa akta pengikatan jaminan yang sah.
Oleh karena itu, argumen bank yang bersikukuh menahan sertipikat hanya karena surat permohonan tersebut adalah tidak berdasar hukum.
Apa yang Harus Dilakukan Jika Anda Mengalami Hal Serupa?
Jika Anda atau perusahaan Anda menghadapi situasi serupa, jangan panik dan jangan ragu untuk bertindak. Berikut adalah langkah-langkah yang bisa dipertimbangkan:
Kumpulkan Dokumen
Pastikan Anda memiliki semua dokumen
terkait perjanjian kredit (baik yang lunas maupun yang bermasalah), bukti
pelunasan, dan korespondensi dengan bank.
Kirim Somasi
Layangkan surat somasi resmi kepada bank,
menuntut pengembalian jaminan Anda dalam jangka waktu tertentu. Somasi ini
harus disusun dengan dasar hukum yang kuat.
Upayakan Mediasi/Negosiasi
Jika somasi tidak diindahkan,
ajukan mediasi melalui lembaga yang berwenang (misalnya Otoritas Jasa
Keuangan/OJK) atau lakukan negosiasi langsung dengan bank, didampingi oleh
penasihat hukum.
Gugatan Perdata
Apabila semua upaya non-litigasi gagal,
pertimbangkan untuk mengajukan gugatan perdata ke pengadilan. Gugatan ini dapat
menuntut pengembalian jaminan dan ganti rugi atas kerugian yang timbul.
Pentingnya Pendampingan Hukum
Menghadapi institusi keuangan seperti bank membutuhkan pemahaman hukum yang mendalam dan strategi yang tepat. Bank memiliki tim hukum yang kuat, sehingga Anda membutuhkan pendampingan dari ahli hukum yang berpengalaman di bidang perdata, perbankan, dan jaminan.
Jangan biarkan hak Anda atas aset yang telah lunas tertahan
tanpa dasar hukum yang jelas. Memahami hak-hak Anda dan berani mengambil
langkah hukum adalah kunci untuk melindungi aset dan kepentingan Anda.
Artikel ini bersifat edukasi dan bukan merupakan nasihat hukum resmi. Untuk kasus spesifik, sangat disarankan untuk berkonsultasi dengan profesional hukum.